Marina Ika Sari
Peneliti The Habibie Center
ASEAN Harus Solid dan Kesampingkan Perbedaan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto selaku tuan rumah ADMM ke-17 dan ADMM-Plus ke-10 terus menekankan pentingnya kerja sama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan atau global. Namun, upaya untuk mencapai hal tersebut masih menghadapi banyak tantangan. Untuk mengetahui kendala apa saja terkait stabilitas di kawasan dan seberapa besar pengaruh ADMM dan ADMM-Plus bagi ASEAN, Nurhidayat Nasution dan Yuli Ari mewawancarai Marina Ika Sari, Peneliti ASEAN Studies Program dari The Habibie Center pada Senin (13/11). Berikut petikannya: Apa tantangan keamanan dan pertahanan yang perlu menjadi perhatian para Menteri Pertahanan se-ASEAN dan negara mitra dialog saat ini?
Saya melihatnya dari dua tingkatan, pertama adalah tantangan keamanan dan pertahanan pada tingkat regional, kedua pada tingkat global. Untuk tingkat regional, ASEAN masih memiliki pekerjaan rumah pada krisis Myanmar dan konflik Laut China Selatan (LCS). Sementara itu, pada tingkat global terdapat tantangan keamanan pertahanan yang disebabkan oleh rivalitas AS-China; krisis di Ukraina; keamanan siber; AUKUS; QUAD; dan yang terbaru konflik Israel-Palestina.
Berbicara mengenai krisis Myanmar, krisis politik ini sudah berubah menjadi krisis kemanusiaan sehingga negara-negara di ASEAN perlu mencari solusi bersama. Kita bisa mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia selama menjadi Ketua ASEAN, tapi pada kenyataannya 'quiet diplomacy' yang dilakukan Indonesia saat ini masih belum memenuhi ekspektasi masyarakat internasional. Hal itu bisa dilihat dari belum ada kemajuan yang siginifikan dari pengimplementasian '5 Points Consensus' oleh Myanmar
Sejak awal, Presiden Jokowi dan Menlu Retno memang sudah menyampaikan bahwa krisis Myanmar tidak bisa diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun Keketuaan Indonesia karena kompleksitas kondisi di Myanmar. Pada akhirnya, isu ini masih akan menjadi pekerjaan rumah bagi Laos yang kemungkinan akan cenderung lebih pasif dari Indonesia dalam approach-nya. Kontribusi ASEAN dalam penanganan krisis Myanmar patut diapresiasi, namun ada dua faktor yang dinilai menghambat ASEAN, yakni prinsip non-intervensi dan perbedaan suara dari negara-negara anggota ASEAN. Khusus untuk prinsip non-intervensi, ASEAN seharusnya dapat lebih fleksibel untuk menerapkan prinsip ini dan banyak juga yang mengkritik kalau ASEAN seharusnya memiliki mekanisme cara penanganan krisis atau konflik. Itu yang tidak kita punya.
Terkait Laut China Selatan, baru-baru ini China merilis new standard map mereka yang meluas dari nine-dashlines (9 garis putus-putus) menjadi ten-dash lines (10 garis putus-putus). Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, serta India geram dan menolak mentah-mentah eksistensi peta tersebut. Penerbitan peta baru ini juga kontradiktif dengan kesepakatan yang China dan ASEAN lakukan pada bulan Juli untuk mempercepat negosiasi kode tata perilaku (Code of Conduct/CoC) di Laut China Selatan.
Setiap negara anggota ASEAN memiliki pendirian berbeda terhadap suatu isu yang menyulitkan pengambilan keputusan karena setiap keputusan yang dihasilkan oleh ASEAN harus berdasarkan konsensus. Dalam sengketa Laut China Selatan misalnya, Filipina dan Malaysia adalah anggota ASEAN yang paling vokal dalam menentang klaim Tiongkok di wilayah Laut China Selatan. Filipina, khususnya, juga telah berupaya memperkuat kehadiran militernya di Laut China Selatan. Sebaliknya, Brunei Darussalam yang juga merupakan salah satu claimant states, justru terlihat mengambil sikap pasif terkait dengan sengketa Laut China Selatan karena hubungannya yang dekat dengan China.
Bagaimana Anda melihat sikap ‘quiet diplomacy’ Indonesia pada isu Myanmar?
Pendekatan ‘quiet diplomacy’ yang diambil Indonesia dalam menangani krisis Myanmar dipertanyakan keefektifannya karena minimnya informasi mengenai rencana strategi dan hasilnya yang dipublikasikan kepada khalayak umum. Hal itu kemudian memunculkan narasi bahwa kurang adanya transparansi informasi dalam penyelesaian krisis ini. Namun, yang perlu menjadi perhatian dari pendekatan 'quiet diplomacy' Indonesia ini adalah upaya-upaya Indonesia untuk mengatasi krisis Myanmar. Salah satunya, selama 9 bulan terakhir, Indonesia telah melakukan 145 engagement dengan 70 pemangku kepentingan di Myanmar-kecuali dengan junta militer Myanmar-untuk membuka dialog dan membangun kepercayaan dengan berbagai pihak.
Bagaimana Anda menyoroti keberadaan/peran ADMM dan ADMM-Plus sebagai bagian dari arsitektur keamanan pertahanan di kawasan?
ADMM dan ADMM-Plus merupakan forum atau platform media konsultasi tertinggi karena menghadirkan menteri pertahanan negara ASEAN dan negara mitra wicara ASEAN. Pada forum tersebut, mereka dapat duduk bersama untuk saling berdiskusi serta berdialog, membahas sejumlah tantangan dan dinamika geopolitik yang tengah berkembang.
Dari perspektif diplomasi pertahanan, forum ini merupakan bentuk dari aktivitas diplomasi pertahanan yang bertujuan untuk meningkatkan confidence building measures(CBM) atau mutual trust. Forum ini juga dapat meningkatkan kapabilitas pertahanan, khususnya para personel militer melalui sharing knowledge dan pelatihan keterampilan teknis. Contoh implementasi bentuk kerja sama di bawah payung ADMM dan ADMM Plus antara lain: workshop, courese, filed training exercise (FTX); table top exercise (TTX); counter-terrorism exercise
Apa yang seharusnya dirumuskan dalam ADMM dan ADMM-Plus untuk mewujudkan stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan?
Pertanyaan ini terkait dengan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP), yang melalui inisiatif Indonesia, dibentuk pada tahun 2019. Di bawah Keketuaan Indonesia tahun ini, ASEAN berupaya untuk menerjemahkan dan mengimplementasikan AOIP kedalam kerja sama yang lebih konkret. Pelaksanaan merupakan upaya implementasi konkret dari AOIP sebagai salah satu - ship event Keketuaan Indonesia di ASEAN. Tetapi AIPF lebih fokus pada bidang ekonomi.
Di bidang pertahanan, dua hal yang sedang dirumuskan dalam ADMM dan ADMM-Plus yaitu Concept Paper for Implementation ASE-fence Perspective dan Plan of Action for the Future of ADMM yang berisi teknis pelaksanaan kerja sama dalam kerangka ADMM.
Kedua dokumen tersebut berfungsi sebagai panduan bagi ASEAN dalam menjalin kerja sama pertahanan dan interaksi ADMM dengan mitra wicara ASEAN. Karena AOIP berfokus pada empat bidang yaitu kemaritiman, konektivitas, UN Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, dan ekonomi, maka ADMM bisa masuk melalui kerja sama maritim yang mencakup peningkatan penyelesaian sengketa secara damai; peningkatan keselamatan dan keamanan maritim; kebebasan navigasi dan penerbangan; serta penanganan kejahatan internasional.Dalam konteks ini, ADMM telah berkontribusi dalam mempertahankan perdamaian di kawasan ASEAN dan telah menjadi pusat dari arsitektur keamanan di kawasan Indo-Pasifik
Bagaimana Anda melihat peran ADMM dan ADMM-Plus dalam mendorong sentralitas ASEAN?
Kita harus membedakan pendirian ASEAN secara organisasi regional dan negara-negara ASEAN secara individu. Negara-negara ASEAN secara individu mempunyai kebijakan dan hubungan luar negeri yang berbeda-beda terkait dengan major powers. Beberapa negara ASEAN dekat dengan AS seperti Singapura, Filipina, Thailand. Sedangkan, Laos, Kamboja, dan Myanmar dekat dengan China. Indonesia dan Malaysia cenderung netral.
Namun, secara organisasi regional, ASEAN dalam hal ini menjalankan hedging strategy di mana ASEAN bekerja sama dengan pihak manapun, seperti AS dan China. Oleh karena itu, di tengah rivalitas AS dan China, sentralitas ASEAN menjadi pedoman karena suara-suara negara anggota ASEAN perlu menjadi prioritas demi mencegah adanya tekanan dan intervensi dari negara-negara lain di luar kawasan.
Bagaimana Indonesia bisa mengambil peran untuk mewujudkan sentralitas ASEAN melalui forum ADMM dan ADMM-Plus?
Indonesia sebagai de facto leader punya peran penting di ASEAN, baik sebagai ketua tahun ini maupun sebagai pemimpin alami di kawasan. Indonesia telah menerima mandat sebagai Ketua ASEAN untuk tahun 2023. Peran ini membawa tanggung jawab besar bagi negara kita dalam memimpin dan memfasilitasi dialog serta kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN beserta mitra dialognya. Indonesia berkomitmen untuk memastikan kesinambungan dan kemajuan ASEAN dalam berbagai bidang, termasuk bidang pertahanan dan keamanan.
Sebagai inisiator AOIP, pembentukan AOIP tersebut bisa dijadikan strategi bagi ASEAN dalam menghadapi kontestasi AS-China dengan merujuk pada tiga prinsip utama ASEAN: sentralitas, inklusivitas, dan saling melengkapi. Sentralitas ASEAN sangat dibutuhkan di tengah dinamika geo politik dan geostrategis di kawasan. Jangan sampai kita menjadi proxy di antara negara major powers yang saling tarik-menarik kepentingan dan kekuatannya di ASEAN.
AOIP dapat mengedepankan sinergi di tengah berbagai perbedaan konsep Indo-Pasifik yang dikeluarkan oleh beberapa negara. Dalam hal ini, AOIP dapat membuka dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali karena bersifat inklusif.
Dengan tema "Peace, Prosperity, and Security", Indonesia bisa terus menekankan para negara anggota ASEAN untuk tetap solid, tidak mengedepankan perbedaan, saling bekerja sama untuk menjaga kepentingan ASEAN. ASEAN harus memiliki kesatuan untuk terus menjaga perdamaian dan kerja sama, bukan persaingan yang berujung pada konflik. Indonesia juga dapat menekankan nilai strategis dari ASEAN sebagai salah satu arsitektur keamanan regional yang berkontribusi pada pemeliharaan perdamaian, keamanan, dan stabilitas.
Beberapa kali juga Presiden, Menhan, dan Menlu selalu menekankan sentralitas ASEAN dan bahwa ASEAN itu harus solid, satu suara. Walaupun secara individual negara anggotanya berbeda suara, tapi jangan mengedepankan perbedaan itu, perbedaan dikesampingkan. Idealnya, ASEAN harus mempunyai satu suara dalam menentukan sikapnya, agar ASEAN tidak mudah terpecah belah oleh pihak eksternal.